Eun Jo kembali ke rumah. Ia berjalan perlahan-lahan dan gontai menuju ruang kerja Dae Sung.
"Tolong katakan padaku, bagaimana semua ini bisa terjadi." ujar Eun Jo lemah pada foto Dae Sung. Ia terjatuh berlutut di lantai.
Para pegawai Perusahaan Anggur Dae Sung menangis dan sedih melihat foto Dae Sung yang menjadi sampul sebuah majalah. Terlihat sekali bagaimana para pegawai sangat menyayangi dan menghormati Dae Sung.
Ki Hoon datang ke kantor untuk mencari Eun Jo, namun Eun Jo tidak berada disana. Ia mengambil ponsel untuk menelepon.
Eun Jo tidak menjawab telepon dari Ki Hoon.
Akhirnya Ki Hoon memutuskan untuk mengirim sms. "Dimana kau?" tulis Ki Hoon dalam smsnya. "Mengapa kau pergi seperti itu?"
Dengan ragu, Eun Jo meraih ponselnya. Belum sempat Eun Jo membaca sms dari Ki Hoon, Hyo Seon menelepon.
"Aku sudah melihatnya." kata Hyo Seon. "Majalah dengan foto ayah di sampulnya."
"Dimana kau?" tanya Eun Jo cemas.
"Aku mendapatkannya dari Dong Soo." kata Hyo Seon. "Malam ini ada perlombaan minum anggur. Dong Soo bilang perlombaannya akan dipercepat..."
Mendadak Eun Jo mematikan telepon. Hyo Seon bingung. "Halo? Halo?"
Eun Jo bergegas menelepon Dong Soo dan melarangnya memberitahu Hyo Seon mengenai hubungan Ki Hoon dengan Perusahaan Hong. Dong Soo setuju.
Hyo Seon datang ke sebuah restoran untuk menemui Dong Soo.
Hyo Seon menelepon Ki Hoon dan memintanya datang ke restoran.
Disisi lain, Ki Hoon sedang sibuk menerima telepon yang ingin memesan anggur buatan mereka.
Eun Jo mengendarai mobilnya dari rumah. Di gerbang perusahaan, Ki Hoon tersenyum dan melambaikan tangan. Eun Jo sama sekali tidak berniat untuk berhenti, namun Ki Hoon berjalan sedikit ke tengah jalan sehingga Eun Jo menginjak remnya cepat.
Ki Hoon terlihat bingung. Ia mengetuk jendela mobil Eun Jo. "Eun Jo, aku tidak apa-apa." katanya. "Buka pintu."
Eun Jo tidak mendengarkan Ki Hoon dan menjalankan mobilnya pergi.
Rupanya Eun Jo datang menemui Ki Jung.
"Kau datang sedikit lebih cepat dari perkiraanku." kata Ki Jung.
"Apa kau punya saudara?" tanya Eun Jo datar. "Kau punya adik, bukan?"
"Apakah adikku melakukan kesalahan?" tanya Ki Jung. "Dia hidup dengan foto-foto adikmu, Hyo Seon. Apa ia mengunjungi tempatmu? Sifatnya sangat kekanak-kanakan. Jika ia membuat kesalahan, aku minta maaf." Maksud Ki Jung adalah adiknya yang satu lagi, Ki Tae, dan bukan Ki Hoon.
"Aku tidak mengerti apa yang kau katakan." kata Eun Jo, bingung.
"Bukankah kau menanyakan adikku?" tanya Ki Jung.
"Apakah kau memiliki seorang adik yang bernama Hong Ki Hoon?" tanya Eun Jo. Melihat ekspresi dan sikap diam Ki Jung, sudah memberikan jawaban pada Eun Jo. "Kau punya." kata Eun Jo seraya bangkit dari duduk.
"Duduklah." kata Ki Jung. "Nama adikku adalah Hong Ki Tae. Hong Ki Hoon bukan adikku. Ia bukan adikku tapi... benar, bahwa ia adalah putra ayahku. Jika kau ingin bertanya lebih jelas, tanyakan saja pada ayahku atau Ki Hoon. Aku tidak bisa mengatakan apa-apa. Jika kau sudah bertemu ayahku atau Ki Hoon, kau pasti ingin bertemu lagi denganku."
Eun Jo benar-benar terpukul dan shock. Ketika duduk di kafe, tangannya sangat bergetar sehingga membuat tehnya tumpah di meja.
Tanpa sengaja Ki Jung melewatinya.
Eun Jo menangis dan pingsan. Asisten Ki Jung menolongnya.
"Antar dia." perintah Ki Jung, melihat seluruh tubuh Eun Jo bergetar dan berkali-kali terjatuh.
"Apa yang akan kau lakukan?!" seru Eun Jo. "Kalian telah bekerja sama untuk membunuh seseorang. Kupikir, akulah yang telah membunuhnya. Tapi, kematian ayahku tidak hanya disebabkan olehku sendiri. Banyak orang yang melakukannya. Sekarang kau berada dalam masalah karena aku tidak akan pernah melepaskanmu. Apa yang akan kau lakukan selanjutnya?"
Eun Jo tiba di restoran. Disana, ia melihat Hyo Seon dengan sedih.
Eun Jo kemudian mengajak Hyo Seon berbincang di taman.
"Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Hyo Seon.
"Aku lapas." kata Eun Jo seraya menyerahkan sebuah burger pada Hyo Seon. "Aku belum makan apa-apa sejak sarapan. Apa demammu sudah turun?"
Hyo Seon diam.
"Demammu belum turun, bukan?" tanya Eun Jo lagi.
"Aku tidak apa-apa." jawab Hyo Seon. "Apa yang ingin kau bicarakan?"
"Aku hanya tidak ingin makan sendirian."
Hyo Seon tersenyum. Tidak seperti Eun Jo yang biasanya. "Walaupun kau mencoba bersikap baik padaku, tapi kau bukan tipe orang yang akan memanggilku hanya karena tidak ingin makan sendirian." katanya.
Eun Jo menanyakan bagaimana perasaan Hyo Seon sekarang karena ditolak. Eun Jo bertanya seperti itu karena ia berjanji akan bersikap baik pada Hyo Seon. Selain itu, Eun Jo juga ingin berperan sebagai kakak bagi Hyo Seon.
"Kau ingin tahu perasaanku?" tanya Hyo Seon, kelihatan sedikit terkejut.
"Ya." jawab Eun Jo. "Aku ingin tahu."
"Sakit." jawab Hyo Seon sedih. "Rasanya sangat sakit."
"Orang seperti apa dia?" tanya Eun Jo. "Kalian sudah kenal sejak lama seperti kakak dan adik. Aku hanya ingin tahu. Bagaimana ia bisa tinggal di rumahmu?"
"Suatu hari, ayahku membawanya." ujar Hyo Seon, bercerita. "Ayah bilang ia putra teman ayah. Ia tidak memiliki uang dan ingin bekerja paruh waktu."
"Apakah hatimu masih milik orang itu?" tanya Eun Jo.
Hyo Seon menoleh. "Bagaimana menurutmu?"
"Aku bertanya karena aku tidak tahu."
"Ya" jawab Hyo Seon jujur. "Walaupun kakak pergi, ataupun ia sudah bersama gadis lain, atau jika dia menjadi seseorang yang sudah tidak ada hubungannya lagi denganku selamanya." Hyo Seon menarik napas panjang, menahan tangisnya. "Terima kasih sudah bertanya."
Ki Jung menelepon Ki Hoon dan mengatakan bahwa Eun Jo datang menemuinya untuk bertanya apakah Ki Hoon memang putra pemiliki Perusahaan Hong.
"Gadis itu berpikir kita bekerja sama melakukan semua ini." ujar Ki Hoon.
"Bagaimana Eun Jo?" tanya Ki Hoon lemah.
"Bagaimana dia?" tanya Ki Jung. "Apa maksudmu?"
"Apakah ia menangis?"
"Aku tidak ingat apakah ia menangis atau tidak, tapi dia gemetar." jawab Ki Jung. "Pastikan agar dia tidak menyebarkan hal ini. Aku mempercayakan masalah ini padamu."
"Dia belum kemari." kata Ki Hoon, emosi. "Dimana dia gemetar? AKU BERTANYA PADAMU KEMANA DIA PERGI! Seharusnya kau meneleponku sebelum membiarkan dia pergi!" teriak Ki Hoon.
Ki Hoon menutup telepon dan terduduk lemas di kursi. Jung Woo mendengarkan dengan iba (Ini perasaan di Jung Woo nguping mulu deh.. Hehe)
Lomba minum anggur dimulai. Setelah beberapa kontestan, akhirnya giliran Hyo Seon.
Hyo Seon meminum satu gelas dengan percaya diri, namun mendadak ekspresinya berubah bingung. Eun Jo dan Dong Soo melihat dengan raut bertanya-tanya. Ada sesuatu yang salah.
Setelah selesai meminum dua gelas anggur, Hyo Seon terduduk lemas di kursi, masih dengan ekspresi bingung dan kelihatan terpukul.
Tidak lama kemudian, Ki Hoon dan Jung Woo datang. Ki Hoon mengajak Eun Jo bicara.
Tanpa mengatakan apa-apa, Eun Jo mengambil tasnya dan berjalan keluar.
Hyo Seon menunduk sedih. Jung Woo melambaikan tangan menyapa Hyo Seon.
Eun Jo berjalan cepat, menuju mobilnya.
"Ayo kita bicara." kata Ki Hoon, menahan Eun Jo agar tidak naik ke mobil.
"Tidak ada yang perlu dibicarakan." kata Eun Jo.
"Ayo kita bicara!" seru Ki Hoon.
"Aku tidak mau dengar!"
"Aku sudah sering kali ingin mengatakannya padamu!" kata Ki Hoon. "Aku tidak ingin kau mengetahui dari orang lain!"
Eun Jo menutup telinganya dan berteriak histeris, tidak ingin mendengar ucapan Ki Hoon.
"Eun Jo." Ki Hoon memegang lengan Eun Jo, berusaha menenangkannya.
Eun Jo menepis tangan Ki Hoon, kemudian menamparnya.
Ki Hoon menarik tangan Eun Jo dengan paksa dan mendorongnya masuk dalam mobil.
Ki Hoon mengemudikan mobil.
Di tengah jalan, Eun Jo turun dari mobil dan mencoba kabur. Ki Hoon mengejarnya.
"Lepaskan aku!" teriak Eun Jo. "Alasan apa yang ingin kau buat?! Aku tidak ingin mendengarnya! Kau brengsek! Kau monster jahat! Kau orang rendah! Tidak ada yang lebih rendah darimu! Kau membuatku muak!"
"Tolong dengarkan aku!" pinta Ki Hoon, menarik tangan Eun Jo. "Dengarkan aku kali ini saja. Kita selesaikan semua ini sekarang!"
Eun Jo meronta-ronta, mencoba melepaskan diri dari pegangan Ki Hoon. "Lepaskan aku!" seru Eun Jo, menangis.
Jung Woo mengantar Hyo Seon pulang.
"Kemana Kakak dan Eun Jo pergi?" tanya Hyo Seon.
"Karena ada masalah perusahaan, mereka terburu-buru." jawab Jung Woo, berbohong.
"Apa benar masalah perusahaan?" tanya Hyo Seon lagi.
"Ya." jawab Jung Woo.
Hyo Seon tersenyum. "Kau dan Eun Jo... apa hubungan kalian berdua?" tanyanya.
Jung Woo tersenyum. "Bukankah kakak sudah memberitahumu? Kami pernah hidup bersama ketika masih muda."
"Bersama? Dengan ibuku juga?" tanya Hyo Seon, terkejut. "Tapi kelihatannya ibu tidak mengenalmu."
"Bibi memang tidak pernah peduli padaku." jawab Jung Woo.
"Ibuku dan ayahmu hidup bersama?"
"Dia bukan ayahku." jawab Jung Woo. "Ia hanya hidup bersamaku."
"Apakah dia... Jang Taek Geun?"
"Bukan!" kata Jung Woo cepat. "Bukan!"
Hyo Seon tidak percaya. "Bisakah kau mempertemukan kami?"
"Untuk apa kau bertemu dengannya?" tanya Jung Woo. "Kau tidak perlu bertemu dengannya."
"Kalian semua... gila... bukan?" gumam Hyo Seon shock. "Kenapa semua anggota keluarga seperti itu?"
Jung Woo mencoba menjelaskan, tapi Hyo Seon menyuruhnya diam.
Eun Jo terduduk di tanah dengan lemas. Ki Hoon hanya diam melihatnya.
"Kau telah berbohong pada orang yang telah menolongmu.. kau juga berbohong pada Hyo Seon, seseorang yang sudah seperti adikmu sendiri." kata Eun Jo tanpa memandang Ki Hoon.
"Ibuku meninggal karena kakakku." ujar Ki Hoon. "Aku hampir gila. Aku ingin melakukan segalanya untuk menghancurkan kakak. Aku berniat mengembalikan perusahaan pada Paman dan menghancurkan kakakku. Aku tidak bisa memikirkan hal lain kecuali itu. Aku hampir gila."
Eun Jo bangkit dari duduknya. "Aku... Hyo Seon... dan orang itu (Dae Sung)... tidak pernah berpikir kau akan melakukan ini. Kau telah membodohi semua orang. Kau senang? Setelah dia meninggal, apakah kau merasa senang karena yang tersisa hanyalah dua orang anak? Bagaimana perasaanmu ketika kau melihat Hyo Seon mencintaimu? Bagaimana perasaanmu ketika kau melihatku tidak bisa melupakanmu?! Kau merasa senang?!"
"Aku melepaskan kalian semua dari tanganku." ujar Ki Hoon, menangis. "Aku melepaskan Paman, kau, semua orang. Aku tahu dimana aku melepaskan semuanya, tapi aku tidak bisa mengambilnya. Kau pikir aku senang? Aku tahu aku salah. Aku berpikir, aku hanya memilikimu disisiku. Tapi kaulah yang menginginkan aku pergi ke neraka!"
"Diam." kata Eun Jo. "Jika kau merasa menyesel, jangan pernah berpikir untuk mengatakan sesuatu pada Hyo Seon. Kau hanya akan membuatnya makin terluka. "Aku tahu kau ingin pergi, tapi kau tidak bisa. Kau harus bekerja seperti yang sudah direncanakan. Seperti seorang Kakak, katakan pada Hyo Seon untuk tetap tabah. Katakan kau akan menjadi kakak yang baik untuknya. Jika Hyo Seon mencarimu ketika ia merasa sedih, datang dan hibur dia. Hiduplah seperti itu. Walaupun rasanya menyakitkan, tapi itulah yang harus kau lakukan. Itulah satu-satunya cara agar aku tidak membunuhmu, agar tidak menyebabkan masalah lagi dan agar aku memaafkanmu."
Ki Hoon berdiri diam.
Eun Jo masuk ke mobilnya dan pergi.
Ki Hoon berusaha berlari mengejar Eun Jo, tapi tidak bisa. Ia terjatuh di tanah.
Jung Woo menunggu Eun Jo untuk bercerita mengenai Hyo Seon, tapi Eun Jo terlalu stress untuk mendengar.
Eun Jo pergi ke kamarnya. Ia membuang pena pemberian Ki Hoon di bawah tempat tidur dan merobek-robek peta yang digambar Ki Hoon.
Eun Jo terduduk lemas di lantai.
Joon Soo datang membawa bantal. "Ibu dan Hyo Seon pergi."
"Kemana?"
"Aku tidak tahu." jawab Joon Soo seraya duduk di samping Eun Jo dan bersandar di bahunya.
Eun Jo mencoba menelepon Kang Sook dan Hyo Seon, tapi tidak satupun dari ponsel mereka yang aktif.
Kang Sook dan Hyo Seon turun dari kereta, kemudian duduk di bangku stasiun.
"Apa kau perlu melakukan semua ini?" tanya Kang Sook. "Naik kereta malam, tidak tidur."
"Anggaplah aku adalah aku." kata Hyo Seon. "Aku menyukaimu sejak melihatmu pertama kali, mengikuti kemanapun kau pergi, menjadikanmu ibuku, dan yakin bahwa ayah akan bahagia karenamu. Walaupun aku tahu bahwa kau tidak menyukaiku dengan tulus, aku tetap merasa berterima kasih selama 8 tahun. Rasa terima kasihku karena cinta ayah padamu, sudah rusak." Hyo Seon merasa sangat bersalah karena telah membawa Kang Sook ke rumah dan mempertemukannya dengan Dae Sung.
"Membicarakan hal itu sudah tidak berguna!" kata Kang Sook. "Katakan padaku apa yang akan kau lakukan!"
"Tidak berguna, katamu?" tanya Hyo Seon emosi. "Kata siapa?! Kau seharusnya tidak memperlakukan perasaan seseorang seperti sapi, babi atau anjing! Ibu, kau memperlakukan aku dan ayahku seperti babi dan anjing."
"Apa yang akan kau lakukan?!" seru Kang Sook. "Semuanya sudah selesai! Dan sekarang aku terpaksa bertemu lagi dengan seseorang yang sudah tidak ingin kutemui! Semuanya karena kau!"
"Tidak ingin kau temui?" tanya Hyo Seon sinis. "Kau masih memiliki nomor teleponnya dan mudah untuk menemuinya."
"Aku tidak punya nomornya!" seru Kang Sook. "Aku sudah membuangnya! Karena kau memaksa, aku mengingat nomor yang sudah kulupakan! Eun Jo sudah cukup keras kepala. Tapi kau seribu kali lebih buruk daripada dia!"
Ternyata saat itu, Jang sedang berdiri di dekat pintu luar, mendengar pembicaraan (teriakan-teriakan) mereka.
Hyo Seon mengajak Jang pergi ke sebuah kafe dan meminta Kang Sook menunggu selama satu jam di stasiun. Kang Sook melihat jadwal keberangkatan kereta.
"Bukankah kau Kang Sook?" tanya seorang wanita, muncul di belakang. Kang Sook menoleh. "Kau tidak kenal aku? Aku yang membantumu melahirkan anakmu!"
Kang Sook berpikir sejenak, mencoba mengingat-ingat. "Ji Nam?" seru Kang Sook.
"Ya, Ji Nam." kata wanita itu, memandang penampilan Kang Sook. "Siapa yang kau temui sehingga bisa membuatmu menjadi wanita kaya seperti ini?"
"Apa yang ingin kau katakan?" tanya Jang. "Cepat katakan, Nona."
Hyo Seon mengeluarkan majalah dengan sampul foto Dae Sung. "Lihatlah ini." katanya. "Ini adalah ayah kami. Dia adalah orang yang sangat baik. Aku tidak pernah bertemu dengan orang yang lebih baik daripada ayah sejak aku lahir. Bukan karena ia adalah ayahku, tapi karena ia memang benar-benar baik. Kau kenal Eun Jo bukan. Kau tidak tahu seberapa besar ia menghormati dan menyayangi ayahku. Jika bukan karena ayah, aku pasti sudah mengusir mereka. Karena mereka adalah orang-orang yang disayangi ayahku, maka aku membiarkan mereka."
Jang hanya diam, menuangkan anggur di gelasnya dan minum.
"Ayahku mencintai ibu." tambah Hyo Seon. "Ia mencintai ibu dengan tulus. Walaupun ia tahu bahwa ibu sering bertemu denganmu, ia berpura-pura tidak tahu. Tapi, bukan ini yang ingin kukatakan padamu. Paman... pada ayahku... bisakah... kau meminta maaf?"
Jang menoleh sedikit.
"Setelah aku tahu, aku tidak pernah bisa tidur nyenyak." kata Hyo Seon, hampir menangis. "Karena orang yang seharusnya minta maaf, belum meminta maaf. Kasihan ayahku. Paman melakukan kesalahan. Kau bertemu dengan wanita yang sudah menikah dan berselingkuh. Kau tahu itu salah! Ibuku juga bersalah. Tapi dia... dari hatinya yang terdalam... ia menyesalinya... Jadi kurasa, kaulah satu-satunya orang yang harus meminta maaf... pada ayahku. Jika kau memang manusia, kau harus meminta maaf. Bukankah begitu? Bukankah begitu, Paman?!"
Jang tidak menjawab Hyo Seon dan berkata pada pelayan untuk memberinya arak lagi.
"Tolong berikan kami anggur dari Perusahaan Dae Sung." kata Hyo Seon pada pelayan.
Pelayan memberikan anggur Dae Sung pada Hyo Seon. "Yang ini lebih mahal. Kau tidak mau mengganti dengan yang lebih murah?"
Hyo Seon memandang botol anggur itu. "Paman, sejak kapan anggur ini dipasarkan lagi?" tanyanya, terkejut.
"Kemarin." jawab pelayan.
Hyo Seon memandang botol itu sambil menangis. "Ini anggur ayahku." katanya sedih.
"Nona, kau bahkan melakukan ini padaku." kata Jang. "Aku tahu bagaimana perasaanmu. Kurasa aku memang bukan manusia, tapi aku binatang. Jika kau masih ingin mendengar apa yang akan dikatakan binatang, maka aku akan bicara."
Hyo Seon menangis dengan bibir gemetar.
"Aku bersalah." kata Jang. "Aku merasa sangat malu, sampai-sampai aku tidak bisa bersujud di depan makam ayahmu. Tapi, tolong katakan pada ayahmu bahwa aku minta maaf. Aku tulus."
Jang meletakkan satu lembar uang di meja untuk membayar minumannya, setelah itu berjalan pergi.
Hyo Seon menangis lega. Ia mengambil majalah dan anggur Dae Sung, kemudian memeluknya erat.
Anggur Dae Sung mulai laris lagi di pasaran. Pesanan terus-menerus datang, membuat seisi perusahaan sibuk.
Jung Woo menelepon Eun Jo untuk menceritakan mengenai Eun Jo dan Kang Sook. Tapi Eun Jo tidak memberi kesempatan Jung Woo bicara. Eun Jo tidak mau mendengar apapun kecuali masalah perusahaan.
Saat itu, Eun Jo sedang bersama dengan Ki Hoon dan Dong Soo di restoran. Ki Hoon memasang harga tinggi untuk anggur Dae Sung.
Dong Soo menggeleng-gelengkan kepalanya. "Goo Eun Jo, ayo kita bicara sebentar." katanya.
Dong Soo dan Eun Jo pergi ke tempat lain.
"Aku tidak mengerti situasi yang terjadi." kata Dong Soo. "Ada apa ini?"
"Kau tidak perlu mencemaskan hal itu." jawab Eun Jo.
"Kau tidak berubah sedikitpun." kata Dong Soo. "Setiap kali kau membuat permintaan, aku selalu menurutimu, tapi kenapa tidak sepatah katapun..."
"Terima kasih." ujar Eun Jo, memotong ucapan Dong Soo. "Aku sangat berterima kasih. Aku akan mentraktir makanan. Atau kau ingin uang?"
Dong Soo tertawa pahit.
"Apa yang ingin kau katakan?" tanya Eun Jo.
"Aku akan menikah." kata Dong Soo, menyerahkan 3 buah undangan pada Eun Jo.
Eun Jo menerima undangan itu. "Selamat." katanya. "Kapan?"
"Semuanya tertulis disana." jawab Dong Soo. "Yang satu untuk Hyo Seon dan yang satunya lagi untuk laki-laki itu. Mungkin ia berpikiran buruk tentangku. Jadi, mungkinkah ia tidak akan datang ke pernikahanku?"
"Aku akan memberikan pada mereka." kata Eun Jo, hendak bangkit dan pergi.
"Apa ada yang salah dengan indera perasa Hyo Seon?" tanya Dong Soo.
"Ia sakit flu." jawab Eun Jo.
"Kurasa tidak." bantah Dong Soo, cemas. "Lebih baik kau membawanya ke rumah sakit. Dia mengatakan, hamburger atau nasi, puding atau anggur, semuanya terasa seperti air. Kurasa ia tidak bisa merasakan apapun lagi."
Eun Jo kelihatan terpukul mendengarnya.
Eun Jo berusaha menelepon Hyo Seon dan Kang Sook, tapi ponsel keduanya tidak aktif. Ia menjadi cemas dan curiga.
Eun Jo kemudian menelepon Jung Woo. "Sekarang aku tidak sibuk." katanya. "Bicaralah."
"Hyo Seon sudah tahu mengenai Paman Jang." kata Jung Woo cemas. "Dia tahu dan aku membuat kesalahan."
Eun Jo menutup telepon dengan shock.
Eun Jo menangis. "Hyo Seon... karena itulah ia sakit... karena itulah ia tidak bisa merasakan apa-apa." tangisnya. "Apa yang harus kulakukan?"
Ki Hoon mendekati Eun Jo, perlahan hendak menyentuh dan menenangkannya, tapi ia tidak bisa.
Hyo Seon kembali ke stasiun, namun Kang Sook sudah tidak ada disana. Ia mengaktifkan ponselnya untuk menelepon rumah. Tapi Joon Soo mengatakan bahwa ibunya belum pulang.
Hyo Seon menunggu hingga larut malam dan stasiun tutup. "Inikah yang ingin kau lakukan, Ibu?" gumamnya.
Hyo Seon berlari keluar stasiun dengan panik, melihat sekeliling dan menangis.
"Ibu!" teriaknya. "Ibu! Ibu, jangan pergi! Ibu!!!"
Sinopsis Cinderella's Stepsister Episode 17
Sinopsis Cinderella's Stepsister Episode 20@ http://princess-chocolates.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar