Eun Jo bekerja hingga larut malam untuk menguji anggur-anggur yang dibuatnya. Ia mengujinya satu per satu sendiri hingga tanpa terasa ia mabuk.
Sementara itu, di luar, perasaan Ki Hoon tak karuan. Ia berjalan perlan menuju gerang rumah dan menggedor-gedor dengan keras. "Buka pintu! Buka pintu, Eun Jo! Eun Jo! Eun Jo!!!"
Dalam keadaan mabuk, Eun Jo berjalan keluar karena mendengar seseorang memanggilnya.
Di luar, ia melihat Jung Woo sedang memapah Ki Hoon masuk ke dalam rumah.
"Ada apa?" tanya Eun Jo pada Jung Woo, menunjuk Ki Hoon.
"Dia mabuk." jawab Jung Woo. "Apa kau mabuk juga?"
Eun Jo menggeleng.
Eun Jo berjalan masuk ke dalam rumah, namun tidak lama kemudian ia kembali lagi.
"Jung Woo." panggil Eun Jo di depan kamar Jung Woo dan Ki Hoon. "Jika kau belum tidur, keluarlah.
Jung Woo keluar dengan kesal. Ia melihat Eun Jo membawakan sesuatu untuknya.
"Minum ini sebelum tidur." kata Eun Jo seraya memberikan minuman untuk Jung Woo. "Berikan dia minuman ini juga." Ia berjalan pergi.
"Kakak." panggil Jung Woo, meletakkan minuman di lantai. "Aku ingin menanyakan sesuatu. Apa yang kau sukai darinya?"
"Apa?"
"Kenapa kau menyukainya?" tanya Jung Woo lagi.
"Omong kosong." kata Eun Jo, mabuk.
"Jika kau tidak menyukainya, kenapa kau membuatkan air dengan madu saat ia mabuk?" tanya Jung Woo, menuntut.
"Aku sudah bilang padamu agar tidak mencari gara-gara denganku." kata Eun Jo.
Jung Woo kesal dan menarik Eun Jo keluar dengan kasar.
"Sakit." keluh Eun Jo. "Sakit. Lepaskan aku. Lepas..."
Jung Woo menatap Eun Jo, teringat saat ia membukakan pintu untuk Ki Hoon.
"Ada apa?" tanya Jung Woo. "Apa kau mabuk?"
"Ada sesuatu yang harus kukatakan padamu." kata Ki Hoon. "Aku harus mengatakannya lebih dulu."
"Ya, katakan padaku." kata Jung Woo, memapah Ki Hoon masuk. "Tapi masuk dulu."
"Eun Jo..." gumam Ki Hoon, setengah sadar. "Aku ingin mengatakan sesuatu. Sebelum Kakakku memiliki Dae Sung, aku ingin memilikinya terlebih dulu. Jika aku berhasil memilikinya, aku ingin mengembalikannya lagi pada paman." Ki Hoon menangis. "Paman... meninggal karena aku... Setelah mendengar aku menelepon kakakku, dia pingsan. Sebelum Hong Han Suk, Presiden Perusahaan Hong, menemuimu... Aku ingin memberitahukan padamu apa yang terjadi lebih dulu."
"Jung Woo, kenapa kau sangat marah?" tanya Eun Jo.
"Apa yang kau sukai darinya?" tanya Jung Woo lagi. "Orang itu... apa kau tahu seperti apa dia? Apa kau menyukainya tanpa mengetahui siapa dia? Walaupun ia terlihat baik, tapi ia hanyalah bajingan. Berhenti menyukainya..."
"Jangan bicara seperti itu..." kata Eun Jo. "Siapa kau? Kau tidak tahu apapun! Jangan seperti itu, Jung Woo. Orang itu... aku merasa buruk jika melihatnya dan aku juga merasa buruk walau tidak melihatnya. Aku merasa buruk jika dia tidak ada disini dan merasa buruk jika dia tidak ada disini. Aku merasa buruk jika ia tersenyum padaku... Jika ia tersenyum pada orang lain, aku juga merasa buruk. Jika ia menyebut namaku, aku merasa sakit... Dan saat ia tidak menyebut namaku, aku juga merasa sakit. Akhirnya aku bisa merasa lebih baik... Merasa sakit... karena melihatnya... masih lebih baik dibandingkan tidak ada dia didekatku."
Eun Jo menghapus air matanya. "Hey, Anak Kecil... kau bisa mendengar ucapanku... kau sudah dewasa, Jung Woo-ku..."
Mata Jung Woo berkaca-kaca.
Eun Jo melambaikan tangannya pada Jung Woo dan kembali ke rumah.
Semalaman itu, Jung Woo tidak tidur.
Ketika Ki Hoon terbangun keesokkan harinya, Jung Woo duduk tepat di depannya.
"Kau sudah selesai tidur?" tanya Jung Woo. "Ayo kita bicara."
Ki Hoon terdengar acuh dan bangkit.
"Ayo kita bicara!" teriak Jung Woo.
"Semua yang kudengar kemarin malam, jangan sampai kau mengatakannya pada Kakak." kata Jung Woo.
Dengan acuh, Ki Hoon hendak beranjak pergi meninggalkan Jung Woo.
Jung Woo menarik lengan Ki Hoon. "Kenapa kau tidak menjawabku?"
"Aku akan mengatakan padanya." jawab Ki Hoon datar.
Jung Woo menghalangi jalan Ki Hoon. "Apa katamu?! Kau akan mengatakan padanya?!"
Ki Hoon berjalan maju, Jung Woo kehilangan kesabaran dan memukul Ki Hoon.
"Aku tidak peduli jika dia tahu." kata Jung Woo. "Tapi kau tidak boleh mengatakan hal seperti itu padanya dengan mulutmu sendiri."
"Aku akan mengatakan padanya." kata Ki Hoon. "Minggir!"
"Jika kau mengatakan itu padanya, Kakakku tidak akan bisa bernapas." larang Jung Woo. "Hanya untuk membuatmu lebih baik, kau ingin mengeluarkan semua yang ada dalam hatimu pada kakak? Lalu bagaimana dengan Kakak?"
"Dia pasti akan tahu, dan aku tidak boleh membiarkan ia tahu dari orang lain." ujar Ki Hoon bersikeras. "Kau! Tutup mulutmu! Aku yang akan memberitahunya!"
"Apa kau ingin membunuh Eun Jo?!" bentak Jung Woo. "Jika kau mengatakan padanya, kaulah satu-satunya orang yang akan hidup."
"Diam."
"Ia akan merasa sakit, saat melihatmu atau tidak melihatmu." kata Jung Woo. "Tapi, ia tetap saja berkata bahwa merasa sakit karena melihatmu lebih baik. Dia mengatakan masih lebih baik jika melihatmu!"
Ki Hoon diam.
"Karena melakukan kesalahan, kau ingin dihukum, bukan?" tanya Jung Woo. "Kalau begitu, hukumanmu adalah tidak memberitahu apapun padanya selamanya. Jangan pernah berpikir untuk mengaku pada Eun Jo."
Jung Woo pergi.
Ki Hoon berpikir sejenak, kemudian berlari ke rumah mencari Eun Jo. Di gerbang, ia berpapasan dnegan Hyo Seon yang hendak mengantar Joon Soo menunggu bus sekolah.
"Dimana Eun Jo?" tanya Ki Hoon.
"Kakak pergi ke suatu tempat." jawab Hyo Seon.
"Kemana? Perusahaan? Pabrik?"
"Ia pergi ke... laboratorium!" jawab Hyo Seon.
Ki Hoon bergegas pergi ke lab, tapi Eun Jo sudah tidak ada disana.
Hyo Seon menelepon Eun Jo.
"Kau ada dimana?" tanya Hyo Seon.
"Aku ingin pergi ke suatu tempat." jawab Eun Jo. "Kenapa?"
"Kau mai pergi kemana?" tanya Hyo Seon.
"Salah satu mesin di lab rusak dan aku ingin memperbaikinya." jawab Eun Jo. "Aku tidak ingin menunggu lama, jadi aku pergi memperbaikinya sendiri. Kenapa kau bertanya?"
"Kakak, aku ingin mengatakan padamu sesuatu sekarang." kata Hyo Seon. "Bisakah kau datang kemari?"
"Apa kau tidak bisa bicara ditelepon?"
"Akan lebih baik jika kau datang kemari." ujar Hyo Seon. "Aku akan menunggumu di rumah."
Eun Jo memutar balik mobilnya. Tidak lama kemudian, Ki Hoon menelepon.
"Aku ada di sekolah sekarang." kata Ki Hoon. "Lewat mana jalur terdekat untuk sampai ke tempatmu? Aku akan mengatakan semuanya padamu sekarang, jika tidak, mungkin aku tidak akan pernah bisa memberitahumu selamanya. Si brengsek itu melarangku mengatakan padamu, tapi aku ingin mengatakannya, Eun Jo."
Ki Hoon menelepon ayahnya untuk memperingatkan. Ki Hoon rela kehilangan semua haknya di Perusahaan Hong. Saham, uang, bahkan Ki Hoon rela kehilangan hak sebagai anak Presiden Hong. Jika ayahnya berani mendekati Perusahaan Anggur Dae Sung, maka ia akan memberikan artikel mengenai ayahnya dan Ki Jung ke surat kabar. Ia akan mengatakan pada surat kabar mengenai apa yang dilakukan Ki Jung pada Perusahaan Anggur Dae Sung.
Ki Hoon tiba di rumah. Baru saja ia sampai di depan gerbang, sebuah mobil melaju ke dekatnya.
"Hatiku merasa tidak tenang." kata Hyo Seon. "Kak Ki Hoon mencarimu. Kelihatannya ia mencarimu bukan untuk urusan pekerjaan. Kenyataan bahwa aku tidak mengetahui apapun... membuatku takut dan aku tidak menyukainya. Aku juga merasa malu. Tapi ketidaktahuanku lebih menggangguku ketimbang rasa malu. Kenapa Kak Ki Hoon mencari Kakak seperti itu? Dengan ekpresi wajah tersiksa?"
"Kita bisa pergi bersama." kata Eun Jo. "Jika hatimu merasa tidak tenang, ikutlah bersamaku."
"Kakak, aku merasa sangat malu." ujar Hyo Seon.
Hyo Seon ikut ke lab bersama Eun Jo dan menjadi asistennya.
Ki Tae menunjukkan poster Hyo Seon pada Ki Hoon.
"Ki Hoon, kumohon sekali ini saja." kata Ki Tae, memohon. "Sekali ini saja. Bantu aku bertemu dengannya. Atur saja waktunya, aku akan mengatur sisanya. Tolonglah.. Aku benar-benar menyukai gadis ini..."
Ki Hoon menunduk, memegang pelipisnya. Pusing melihat tingkah kakaknya itu.
Ki Tae menarik napas dalam. "Apa kau tahu artinya cinta pada pandangan pertama?" tanyanya.
Telepon Ki Tae berdering. Ki Tae hanya diam, menatap Ki Hoon dengan ekspresi memohon.
"Angkat teleponmu." kata Ki Hoon.
"Hah? Oh!" Ki Tae baru sadar dan buru-buru mengangkat teleponnya. Ki Tae bicara di telepon dan mendadak berteriak, "Kenapa ayahku pingsan?!" serunya. Ki Tae menutup telepon dan menatap Ki Hoon. "Kau.. apa kau menelepon ayah?"
"Apa maksudmu?"
"Setelah menutup telepon darimu, mereka bilang ayah pergi ke toilet dan pingsan." kata Ki Tae.
"Apa?!"
Dong Soo memanggil Eun Jo dan Hyo Seon ke restorannya.
"Lomba minum anggur?" tanya Hyo Seon.
"Ya." ujar Dong Soo. "Kalian berdua adalah kontestan otomatis. Kalian harus ada disana."
"Tolong jelaskan." pinta Hyo Seon. Tapi Dong Soo terburu-buru dan mengatakan akan mengirim penjelasannya lewat pesan, kemudian beranjak pergi.
Hyo Seon bingung. "Kakak, apakah dulu dia begitu?" tanyanya. "Tidakkah ia sedikit aneh?"
Eun Jo berpikir sejenak dan memanggil Dong Soo. "Kim Dong Soo." panggilnya. "Bisakah kau melihat sesuatu untukku? Bisakah kau mencari tahu siapa yang menyebabkan skandal Jepang pada bisnis kami?"
Ki Hoon dan Ki Tae menjenguk Presiden Hong di rumah sakit. Tidak lama kemudian Ki Jung datang.
"Baguslah ia dibawa kemari dengan cepat." kata Ki Jung. "Aku hampir saja melewatkan rapat penting karena hal ini." Ia beranjak pergi, tapi Ki Tae memanggil.
"Tunggu!" panggil Ki Tae. "Karena hal ini, kau hampir melewatkan sesuatu? Apa pantas kata-kata seperti itu keluar dari mulutmu pada situasi seperti ini?"
"Pelankan suaramu." ujar Ki Jung.
"Kau pikir, siapa yang menyebabkan ayah pingsan?!" seru Ki Tae. "Kau pikir aku tidak tahu? Kau dan ibumu bekerja sama mencari cara untuk mengeluarkan ayah dari bisnis Anggur Hong."
"Pelankan suaramu. Kau sedang berada dekat pasien."
"Pasien?" tanya Ki Tae tajam. "Apa bagimu ayah hanyalah pasien biasa?!"
Ibu Ki Jung datang. "Kenapa kalian berteriak?" tanyanya.
Ki Tae menahan tangis. "Semua ini tidak berguna." katanya seraya berjalan pergi.
Ki Jung dan ibunya bicara mengenai pembicaraan dengan Pengacara Kim menyangkut saham perusahaan. Ibu Ki Jung ingin menyelesaikan masalah tersebut secepat mungkin. Tapi karena kondisi Presiden Hong tidak memungkinkan, Ki Jung meminta ibunya bersabar sedikit lebih lama.
Ki Hoon hanya bisa bersabar dan diam mendengar pembicaraan mereka.
"Ayah, ada apa dengan semua ini?" tanya Ki Hoon ketika Ki Jung dan ibunya sudah pergi. "Apa selama ini, kau hidup seperti itu?"
Jang Taek Geun mengaku-ngaku bahwa Kang Sook adalah saudaranya. Ia mengatakan pada seorang pria agar meminta uang ke rumah Kang Sook.
Kang Sook terlihat ketakutan. Dari jauh, ia melihat mobil Eun Jo datang.
"Aku mengerti." kata Kang Sook pada pria itu. "Cepat pergi. Aku akan mengurus semua ini, jadi cepat pergi."
Diam-diam Heojin menguping pembicaraan mereka.
Hyo Seon melihat pria itu pergi. "Kakak, apakah ibu memiliki saudara bernama Jang Taek Geun?"
"Apa katamu?"
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Eun Jo pada ibunya. "Bagaimana jika Hyo Seon tahu?"
"Bagaimana ia bisa tahu?" tanya Kang Sook. "Aku akan mengurusnya. Jangan cemas."
Eun Jo keluar dan berpapasan dengan Hyo Seon yang hendak mengucapkan selamat malam pada Kang Sook.
"Ibu sedang dalam kondisi tidak baik dan moodnya sedang buruk." kata Eun Jo padanya. "Jika kau masuk, ia tidak akan suka. Hyo Seon, aku ingin kau melakukan sesuatu."
Eun Jo meminta tolong pada Hyo Seon untuk menghubungi Ki Hoon. Ia ingin memberitahu Ki Hoon untuk segera menyewa mesin. Tapi seharian Eun Jo tidak bisa menghubunginya.
Eun Jo mencari Jung Woo dan meminta bantuannya untuk pergi ke suatu tempat besok pagi. "Jika kita tidak memberikan uangnya pada mereka, mereka akan terus mengganggu kita."
"Jangan cemas." kata Jung Woo menenangkan. "Aku akan mengurus segalanya. Percayalah padaku. Aku tidak akan membiarkan mereka mendekati rumah ini."
"Tidak, aku akan pergi denganmu." ujar Eun Jo, berubah pikiran. "Aku harus bertemu dengan Paman Jang dan mengatakan sesuatu yang penting padanya."
Jung Woo terlihat cemas. "Kakak, tidak ada apa-apa yang terjadi hari ini, bukan?"
Eun Jo terlihat bingung, itu artinya tidak terjadi apa-apa.
Tanpa mereka sadari, Heojin mencuri dengar pembicaraan mereka.
Eun Jo datang ke kamar ibunya untuk meminta jumlah uang yang diminta pria di gerbang tadi.
Dengan kesal dan sangat terpaksa, Kang Sook membuka lemari untuk mencari buku rekeningnya.
Di sudut lemari, ia menemukan beberapa tumpuk jurnal. Kang Sook mengambil dan membacanya. Ternyata itu adalah buku harian Dae Sung.
"Seseorang datang padaku." ujar Dae Sung dalam jurnalnya. "Seperti angin di musim semi. Ada bau bunga yang terbawa hembusan angin. Seperti tergiur oleh bunga, aku tergoda olehnya. Aku berjanji akan menjaganya selamanya. Aku berjanji tidak akan pernah membuatnya menangis lagi. Aku menjanjikan banyak hal. Orang yang bodoh selalu seperti itu."
Kang Sook menutup jurnal itu dan mengeluarkan beberapa jurnal yang lain.
Hyo Seon menunggu Ki Hoon pulang.
Setelah sekian lama menunggu, akhirnya Ki Hoon pulang dengan lemas dan sedih.
"Apa yang terjadi?" tanya Hyo Seon, memeluk Ki Hoon untuk menenangkannya.
Ki Hoon tidak menjawab. Ia melepas pelukan Hyo Seon dan berjalan menuju kamarnya.
Hyo Seon berdiri diam dengan terpukul, merasa ada sesuatu yang terjadi.
"Kau tidak mengatakan apapun pada Eun Jo, bukan?" tanya Jung Woo begitu melihat Ki Hoon masuk.
"Apa itu penting?" tanya Ki Hoon. "Kau tahu bahwa aku adalah bagian dari Perusahaan Hong, alasanku datang kemari, dan apa yang kulakukan pada paman. Walaupun begitu, hanya Eun Jo yang penting. Jika Eun Jo baik-baik saja, kau tidak keberatan berbagi kamar dengan orang sepertiku."
"Kau pikir aku mau?" tanya Jung Woo. "Kau mengatakan bahwa kau ingin mengembalikan perusahaan lagi pada paman. Aku percaya itu." Ia menarik napas dalam. "Kenapa kakak bisa menyukai orang sepertimu? Aku benar-benar tidak mengerti."
Keesokkan harinya, Ki Hoon mengajak Hyo Seon membeli beras.
Paman pensupply beras tidak bisa melihat ke arah Hyo Seon. Saat Ki Hoon menjelaskan, paman tersebut melihat ke arah berlawanan dengan mereka.
"Paman, melihatlah ke arahku." pinta Hyo Seon. "Aku tahu kau datang ke pemakaman ayah. Kenapa kau tidak menemuiku? Jika aku melihatmu, mungkin aku akan menangis karena kau mengingatkanku pada ayah."
Paman itu hanya diam dengan mata berkaca-kaca.
"Aku sangat berterima kasih.. karena kau sudah datang." ujar Hyo Seon.
Paman itu menghapus air matanya dengan saputangan.
Setelah itu, Ki Hoon dan Hyo Seon makan bersama.
"Makanlah." kata Ki Hoon.
"Aku akan melakukan apapun yang kau katakan." kata Hyo Seon seraya memakan makanannya. "Kakak, kau tidak akan pergi kemana-mana bukan? Jika kau tidak pergi dan tetap disisiku, aku akan mencoba menjadi hebat seperti Eun Jo."
Ki Hoon diam, menatap Hyo Seon dan tersenyum tipis.
"Kau orang yang sangat baik, Hyo Seon." kata Ki Hoon. "Diantara kami semua, tidak ada orang sepertimu yang bisa menunjukkan hati yang tulus dan membuat mereka terkesan. Hanya kau yang bisa melakukannya."
Hyo Seon tertawa. "Kenapa kau seperti ini, Kakak?" tanyanya. "Aku cemas karena tiba-tiba mendapat pujian darimu. Aku gugup."
"Sesuatu darimu yang membuatku iri adalah bahwa... kau adalah orang yang sangat baik." kata Ki Hoon, tersenyum. "Percayalah."
"Kau bilang aku menunjukkan hatiku yang tulus, tapi kenapa kau tidak terkesan?" tanya Hyo Seon.
"Aku tahu." kata Ki Hoon. "Kau menyukaiku, percaya padaku.. Aku tahu itu. Aku berjanji padamu, apapun yang terjadi di masa depan, walaupun aku akan dihukum atau tidak dimaafkan selamanya aku tetap akan senang."
"Apa maksudmu?" tanya Hyo Seon, bingung.
"Aku sangat berterima kasih untuk hatimu, tapi maaf, aku tidak bisa menerimanya."
Hyo Seon tersenyum. "Karena Eun Jo?"
"Bukan."
"Apa kau akan menolak Eun Jo juga?"
"Eun Jo... sudah menolakku." kata Ki Hoon.
"Jadi sekarang, kau menolakku?" tanya Hyo Seon. "Secara resmi?"
"Ya, secara resmi."
Hyo Seon mundur beberapa langkah dan menahan tangisnya. "Jadi sekarang, aku sudah tidak lagi memiliki seseorang untuk bersandar, tidak juga Eun Jo atau ibu atau kau."
"Kau akan berdiri dengan baik sendirian." kata Ki Hoon tenang. "Walaupun kau gemetar, tapi kau akan baik-baik saja."
Hyo Seon berbalik. Ia memegang dadanya yang terasa sakit karena menahan tangis.
Setelah Eun Jo dan Jung Woo menyerahkan uang, para pria penjahat membebaskan Jang Taek Geun. Jung Woo mengajak Jang makan, kemudian Eun Jo menyuruh Jung Woo menunggu sementara ia dan Jang pergi ke suatu tempat berdua.
Di rumah, Kang Sook menggeledah semua tempat untuk mencari jurnal tahun terakhir milik Dae Sung.
Eun Jo membawa Jang ke pinggir sungai.
Setelah mereka keluar dari mobil, Eun Jo berlutut di hadapan Jang. "Tolong selamatkan aku, Paman." katanya. "Kurasa aku akan mati. Aku hanya hidup karena tidak bisa mati. Aku... aku... aku adalah putri Song Kang Sook, Eun Jo. Putri seorang wanita murahan, Eun Jo. Saat kau mabuk, aku ingin membunuhmu. Aku sudah memegang pisau. Ketika kau mabuk dan memukuli ibuku..." Eun Jo meraih tangan Jang. "Tangan ini... Aku hampir memotong tangan ini. Seorang anak yang baru berumur 10 tahun sudah berniat memotong sebuah tangan. Setiap hari, aku membayangkan hal-hal mengerikan."
Jang terlihat takut.
Eun Jo bangkit dan memandang Jang. "Jika aku harus mengalami mimpi buruk itu lagi, lebih baik aku mati." katanya. "Paman... aku serius."
"Eun Jo.. aku menyesal..."
"Diam, Paman." potong Eun Jo. "Kau tidak menyesal. Jika kau menyesal, kau tidak akan melakukan ini. Kau mengatakan maaf tapi terus mengulang lagi dan lagi."
Jang takut dan tidak berani memandang Eun Jo.
"Paman, lihat aku." kata Eun Jo pelan. "Bisakah seseorang membunuh orang lain tanpa usaha? Aku akan menunjukkan padamu."
Eun Jo berjalan ke arah sungai dan masuk ke dalamnya.
"Berhenti!" teriak Jang, mengejar Eun Jo dan menariknya keluar.
Eun Jo berteriak-teriak histeris. "Lepaskan aku! Lepaskan!"
Jang menggendong Eun Jo dengan paksa dan membawanya ke atas.
Eun Jo menangis dan berteriak-teriak.
Setelah mencari-cari, akhirnya Kang Sook berhasil menemukan jurnal terakhir Dae Sung.
"Aku hanya bisa melihat wanita itu menjadi rapuh." kata Dae Sung dalam jurnalnya. "Kebohongan yang selalu diulanginya semuanya adalah salahku. Ia datang dan tersenyum padaku setelah bertemu dengan kekasihnya yang sebelumnya. Rasa marah, kecewa, dan sedih selalu datang dan pergi padaku. Aku ingin bertanya padanya kenapa ia bersikap seperti itu. Tapi orang bodoh ini tidak bisa mengatakan apa-apa karena ia hanyalah seorang pengecut. Jika aku sudah siap membuka mulut, aku takut kehidupanku selama 8 tahun hanya akan hilang sia-sia. Hal yang paling kutakutkan adalah... jika aku harus melanjutkan hidup tanpanya."
Kang Sook duduk di dalam kamarnya dan memandang foto pernikahannya dengan Dae Sung. Ia menangis keras penuh penyesalan.
Sinopsis Cinderella's Stepsister Episode 14
Sinopsis Cinderella's Stepsister Episode 15
Sinopsis Cinderella's Stepsister Episode 16
Sinopsis Cinderella's Stepsister Episode 17Sinopsis Cinderella's Stepsister Episode 20
cr :patrarush.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar